
Ust. Wahyudi Abdurrahim, Lc. M.M:
Saya tertarik tulisan beliau di mukadimah buku. Di situ beliau
menerangkan mengenai urgensi metodologi dalam pemikiran Islam. Menurut
beliau, bahwa perkembangan pemikiran Islam, biasanya juga dibarengi
dengan perkembangan metodologi penelitian. Sayangnya, menurut beliau,
saat ini terjadi krisis metodologi di dunia Islam.
Saya jadi teringat ketika membaca kitab al-Burhan jilid dua karangan Imam haramain. Menurut beliau, para ulama terdahulu (baca: sebelum Imam haramain) telah meletakkan metodologi ijtihad sebagai sarana untuk memahami teks. Lalu para ulama setelahnya membacanya, menambahi dan menyempurnakan kekuarangan yang ada dalam kitab-kitab tersebut. Jadi, di antara tugas generasi setelahnya adalah melengkapi kekurangan itu. Atau jika memang dibutuhkan, akan meletakkan metodologi baru.
Imam Haramain di antara ulama yang sangat peka terhadap urgensi metodologi. Beliau selalu perkembangan metodologi. Beliaulah ulama ushul pertama yang menyinggung ilmu maqashid. Bisa dikatakan bahwa sesungguhnya peletak batu pertama ilmu maqashid adalah beliau ini.
Metodologi dalam pemikiran Islam sangat beragam. Di ilmu kalam dikenal dengan kiyas ghaib ala syahid, kemudian ada manhaj jadal dan lain sebagainya. Di ilmu tafsir ada ulumul Quran dengan berbagai cabangnya, Ilmu hadis ada uluml hadis dengan berbagai cabangnya, ilmu fikih ada ushul fikih dan demikian seterusnya.
Metodologi perlu digali, di baca dan dikembangkan lagi. Lalu dipakai sebagai pisau analisis untuk membaca teks. Dengan demikian, umat akan mampu memproduksi ilmu baru, bukan sekadar menukil pendapat para ulama terdahulu saja.
Krisis metodologi berimplikasi negatif dalam perkembangan pemikiran Islam. Di antaranya adalah kegamangan umat dalam membaca teks al-Quran dan sunnah nabi. Atau bisa jadi malah mereka melakukan pembacaan teks, secara tidak metodologis. Akibatnya, nilai yang dihasilkan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Atau, sebaliknya ia beranjak kepada metodologi pembacaan teks ala Barat. Lalu diterapkan untuk dijadikan sebagai pisau analisi dalam membaca teks al-Quran. Padahal berbagai metodologi itu, belum tentu sepenuhnya sesuai dengankarakter bahasa Arab. Sosiokultural pembentukan bahasa dan sejarah turunnya teks bahasa al-Quran, sangat berbeda dengan munculnya pisau analisis Barat itu.
Dampaknya sangat jelas. Banyak pendapat nyleneh dan bahkan menyimpang dari makna teks. Tidak ada lagi qat’iy dan zhanni. Tidak ada lagi batasan-batasan tertentu dalam memahami nas. Semua bisa dilakukan. Bahkan nilai sakralitas dari nas sendiri telah dimusnahkan. Al-Quran disamakan dengan teks-teks buatan manusia. Al-Quran menjadi teks sastra pada umumnya.
Tidak heran jika kemudian ada yang menafsirkan pembagian waris lepas dari kaedah ushuliyyah, menafsirkan thaharah, puasa, haji, tidak sesuai dengan warisan intelektual ulama kita. Semua dianggap benar dan absah. Maka yang terjadi adalah dekonstruksi teks serta relatifitas kebenaran. Mereka membentuk teks-teks baru yang melampaui daripada teks suci al-Quran. Kebenaran teks menjadi tidak absolut.
Mengapa terjadi krisis metodologi? Apakah karena jargon kembali kepada al-Quran dan sunnah? Bukankah ilmu-ilmu “alat” diajarkan di pesantren-pesantren di tanah air?
Terkait jargon kembali kepada Quran sunna, memang ada sebagian kalangan yang salah paham. Mereka mengira bahwa kembali ke Quran sunnah adalah dengan langsung membaca teks Quran sunnah tanpa melalui ilmu alat. Bahkan ada yang sekadar mencukupkan dengan Quran terjemahan.
Padahal memahami Quran sunnah tidaklah sederhana. Para ulama terdahulu dari generasi salaf, mereka meletakkan berbagai metodologi ijtihad, tidak lain adalah untuk memahami teks al-Quran itu. Jika Quran bisa dipahami siapa saja tanpa butuh metodologi, tentu para ulama salaf tidak akan capek-capek meletakkan metodologi ijtihad. Tentu Allah dan rasul-Nya tidak akan meletakkan derajat ulama di atas orang awam. Tentu Rasulullah saw tidak akan bersabda bahwa ulama adalah pewaris para nabi.
Kenyataannya tidak demikian. Al-Quran begitu hormat kepada para ulama. Bahkan dalam al-Quran, dikaakan bahwa mereka yang paling takut kepada Allah adalah para ulama. Perhatikan firman Allah berikut ini:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Surat Fathir: 28)
Allah juga berfirman Allah berikut ini:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Apakah kalian hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya ? katakanlah : “ apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. (QS. Az Zumar: 9)
Rasulullah Saw. bersabda:
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Benar bahwa berbagai metodologi itu diajarkan di pesantren. Hanya sayangnya orientasi baru sebatas pengajaran untuk pengetahuan saja. Sejatinya santri juga dilatih untuk menggunakan berbagai piranti metodologi tadi untuk membaca kitab suci. Dengan demikian, ia akan tumbuh menjadi ulama yang mendalami metodologi dan mampu memproduksi pemikiran sendiri.
Tengok sajamisalnya, ilmu bahasa. Ia sekadar dijadikan sebagai sarana untuk membaca kitab gundul, atau untuk mengi’rab tulisan. Ilmu balaghah tidak begitu berkembang dan tidak tau dipakai untuk apa. Santri mahir dalam teori bahasa, tapi tumpul dalam penggunaan teori bahasa untuk membaca teks.
Lihat misalnya ulama terdahulu, seperti Zamasyari dengan kekuatan ilmu balaghah yang ia miliki, ia mampu menulis tafsir sastra untuk menopang paham Muktazilah. Dengan pendalaman bahasa, ia juga mampu menelurkan pemikiran kalam yang luar biasa. Demikian juga Qadhi Abdul Jabbar yang juga Muktazilah. Beliau menulis buku Tanzihul Quran ‘Anil Matha’in. Ini adalah buku kalam yang sangat kuat pendalaman bahasa dan sastra arabnya. Atau Imam Annasafi yang ahli sunnah. Beliau menulis tafsir dengan kepiawaian beliau dalam ilmu nahwu. Ilmu ini, dijadikan sebagai penopang untuk membela kalam Maturidi.
Jadi, bahasa tidak sekadar untuk membaca kitab gundul, namun beranjak ke depan untuk dijadikan sebagai pisau analisis terhadap pembacaan teks. Pengajaran bahasa harus dituntun ke arah sana. Harus ada upaya strategis, agar siswa mampu memanfaatkan ilmu yang mereka miliki untuk membaca kitab suci.
Ini baru dari sisi ilmu bahasa. Belum lagi kita bicara soal ushul fikih, ulumul quran, ulumul hadis dan lain sebagainya. Kita butuh pendalama berbagai metodologi tadi, lalu menerapkannya untuk dijadikan pisau analisis dalam pembacaan kitab suci. Dengan demikian, kita akan beranjak dari sikap taklid menuju ijtihad. Dari sekadar menukil pendapat ulama, sampai pada memproduksi pemikiran sendiri. Dengan demikan, pemikiran Islam kontemporer dari berbagai cabangnya akan dapat berkembang sesuai dengan harapan. Wallahu a’lam
sumber: http://sangpencerah.id/2017/02/krisis-metodologi-pemikiran-islam.html
Saya jadi teringat ketika membaca kitab al-Burhan jilid dua karangan Imam haramain. Menurut beliau, para ulama terdahulu (baca: sebelum Imam haramain) telah meletakkan metodologi ijtihad sebagai sarana untuk memahami teks. Lalu para ulama setelahnya membacanya, menambahi dan menyempurnakan kekuarangan yang ada dalam kitab-kitab tersebut. Jadi, di antara tugas generasi setelahnya adalah melengkapi kekurangan itu. Atau jika memang dibutuhkan, akan meletakkan metodologi baru.
Imam Haramain di antara ulama yang sangat peka terhadap urgensi metodologi. Beliau selalu perkembangan metodologi. Beliaulah ulama ushul pertama yang menyinggung ilmu maqashid. Bisa dikatakan bahwa sesungguhnya peletak batu pertama ilmu maqashid adalah beliau ini.
Metodologi dalam pemikiran Islam sangat beragam. Di ilmu kalam dikenal dengan kiyas ghaib ala syahid, kemudian ada manhaj jadal dan lain sebagainya. Di ilmu tafsir ada ulumul Quran dengan berbagai cabangnya, Ilmu hadis ada uluml hadis dengan berbagai cabangnya, ilmu fikih ada ushul fikih dan demikian seterusnya.
Metodologi perlu digali, di baca dan dikembangkan lagi. Lalu dipakai sebagai pisau analisis untuk membaca teks. Dengan demikian, umat akan mampu memproduksi ilmu baru, bukan sekadar menukil pendapat para ulama terdahulu saja.
Krisis metodologi berimplikasi negatif dalam perkembangan pemikiran Islam. Di antaranya adalah kegamangan umat dalam membaca teks al-Quran dan sunnah nabi. Atau bisa jadi malah mereka melakukan pembacaan teks, secara tidak metodologis. Akibatnya, nilai yang dihasilkan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Atau, sebaliknya ia beranjak kepada metodologi pembacaan teks ala Barat. Lalu diterapkan untuk dijadikan sebagai pisau analisi dalam membaca teks al-Quran. Padahal berbagai metodologi itu, belum tentu sepenuhnya sesuai dengankarakter bahasa Arab. Sosiokultural pembentukan bahasa dan sejarah turunnya teks bahasa al-Quran, sangat berbeda dengan munculnya pisau analisis Barat itu.
Dampaknya sangat jelas. Banyak pendapat nyleneh dan bahkan menyimpang dari makna teks. Tidak ada lagi qat’iy dan zhanni. Tidak ada lagi batasan-batasan tertentu dalam memahami nas. Semua bisa dilakukan. Bahkan nilai sakralitas dari nas sendiri telah dimusnahkan. Al-Quran disamakan dengan teks-teks buatan manusia. Al-Quran menjadi teks sastra pada umumnya.
Tidak heran jika kemudian ada yang menafsirkan pembagian waris lepas dari kaedah ushuliyyah, menafsirkan thaharah, puasa, haji, tidak sesuai dengan warisan intelektual ulama kita. Semua dianggap benar dan absah. Maka yang terjadi adalah dekonstruksi teks serta relatifitas kebenaran. Mereka membentuk teks-teks baru yang melampaui daripada teks suci al-Quran. Kebenaran teks menjadi tidak absolut.
Mengapa terjadi krisis metodologi? Apakah karena jargon kembali kepada al-Quran dan sunnah? Bukankah ilmu-ilmu “alat” diajarkan di pesantren-pesantren di tanah air?
Terkait jargon kembali kepada Quran sunna, memang ada sebagian kalangan yang salah paham. Mereka mengira bahwa kembali ke Quran sunnah adalah dengan langsung membaca teks Quran sunnah tanpa melalui ilmu alat. Bahkan ada yang sekadar mencukupkan dengan Quran terjemahan.
Padahal memahami Quran sunnah tidaklah sederhana. Para ulama terdahulu dari generasi salaf, mereka meletakkan berbagai metodologi ijtihad, tidak lain adalah untuk memahami teks al-Quran itu. Jika Quran bisa dipahami siapa saja tanpa butuh metodologi, tentu para ulama salaf tidak akan capek-capek meletakkan metodologi ijtihad. Tentu Allah dan rasul-Nya tidak akan meletakkan derajat ulama di atas orang awam. Tentu Rasulullah saw tidak akan bersabda bahwa ulama adalah pewaris para nabi.
Kenyataannya tidak demikian. Al-Quran begitu hormat kepada para ulama. Bahkan dalam al-Quran, dikaakan bahwa mereka yang paling takut kepada Allah adalah para ulama. Perhatikan firman Allah berikut ini:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ
Artinya: “Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya hanyalah para Ulama, sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Surat Fathir: 28)
Allah juga berfirman Allah berikut ini:
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِداً وَقَائِماً يَحْذَرُ الآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Apakah kalian hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya ? katakanlah : “ apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?”. (QS. Az Zumar: 9)
Rasulullah Saw. bersabda:
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa mengambil warisan tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR. Al-Imam At-Tirmidzi dan Abu Dawud)
Benar bahwa berbagai metodologi itu diajarkan di pesantren. Hanya sayangnya orientasi baru sebatas pengajaran untuk pengetahuan saja. Sejatinya santri juga dilatih untuk menggunakan berbagai piranti metodologi tadi untuk membaca kitab suci. Dengan demikian, ia akan tumbuh menjadi ulama yang mendalami metodologi dan mampu memproduksi pemikiran sendiri.
Tengok sajamisalnya, ilmu bahasa. Ia sekadar dijadikan sebagai sarana untuk membaca kitab gundul, atau untuk mengi’rab tulisan. Ilmu balaghah tidak begitu berkembang dan tidak tau dipakai untuk apa. Santri mahir dalam teori bahasa, tapi tumpul dalam penggunaan teori bahasa untuk membaca teks.
Lihat misalnya ulama terdahulu, seperti Zamasyari dengan kekuatan ilmu balaghah yang ia miliki, ia mampu menulis tafsir sastra untuk menopang paham Muktazilah. Dengan pendalaman bahasa, ia juga mampu menelurkan pemikiran kalam yang luar biasa. Demikian juga Qadhi Abdul Jabbar yang juga Muktazilah. Beliau menulis buku Tanzihul Quran ‘Anil Matha’in. Ini adalah buku kalam yang sangat kuat pendalaman bahasa dan sastra arabnya. Atau Imam Annasafi yang ahli sunnah. Beliau menulis tafsir dengan kepiawaian beliau dalam ilmu nahwu. Ilmu ini, dijadikan sebagai penopang untuk membela kalam Maturidi.
Jadi, bahasa tidak sekadar untuk membaca kitab gundul, namun beranjak ke depan untuk dijadikan sebagai pisau analisis terhadap pembacaan teks. Pengajaran bahasa harus dituntun ke arah sana. Harus ada upaya strategis, agar siswa mampu memanfaatkan ilmu yang mereka miliki untuk membaca kitab suci.
Ini baru dari sisi ilmu bahasa. Belum lagi kita bicara soal ushul fikih, ulumul quran, ulumul hadis dan lain sebagainya. Kita butuh pendalama berbagai metodologi tadi, lalu menerapkannya untuk dijadikan pisau analisis dalam pembacaan kitab suci. Dengan demikian, kita akan beranjak dari sikap taklid menuju ijtihad. Dari sekadar menukil pendapat ulama, sampai pada memproduksi pemikiran sendiri. Dengan demikan, pemikiran Islam kontemporer dari berbagai cabangnya akan dapat berkembang sesuai dengan harapan. Wallahu a’lam
sumber: http://sangpencerah.id/2017/02/krisis-metodologi-pemikiran-islam.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar